Perjalanan Politik TGH. Hardiyatullah M.Pd.: Dari Dunia Pesantren ke Panggung Kebijakan

Penyerahan bantuan beasiswa PIP di kec. Gerung

Perjalanan politik TGH. Hardiyatullah M.Pd. tidak lahir dari ruang kosong. Ia berangkat dari pengalaman panjang menimba ilmu, berdakwah, dan mendampingi umat hingga akhirnya menemukan bahwa politik adalah bagian dari jalan perjuangan.

Menimba Ilmu di Libya (2007–2011)

Pada tahun 2007, TGH. Hardiyatullah mendapat kesempatan istimewa melanjutkan studi melalui beasiswa di Kampus Dakwah Islamiyah, Tripoli – Libya, Afrika Utara. Saat itu, Libya dikenal sebagai negara yang makmur dan stabil. Beliau menyaksikan langsung bagaimana pendidikan dan kesehatan diberikan secara gratis, listrik dan minyak sangat murah, serta kehidupan sosial masyarakat berjalan dengan tenang.

Namun, suasana damai itu tidak bertahan lama. Ketika Muammar Qadafi dengan berani menentang pengaruh Barat—Amerika, NATO, dan sekutunya—negara itu porak poranda. Perang pecah, kesejahteraan lenyap seketika, dan Qadafi pun wafat dengan cara yang tragis. Para mahasiswa asing, termasuk TGH. Hardiyatullah, terpaksa dipulangkan demi keselamatan. Dari peristiwa itu, beliau belajar bahwa politik dan strategi merupakan kunci dalam menjaga kedaulatan suatu bangsa.

Mengabdi di Pesantren dan Umat (2012)

Sekembalinya ke Lombok, TGH. Hardiyatullah langsung mendapat amanah dari ayahandanya, Al-Maghfurlah TGH. Ridwanullah Attauhidy, untuk mengurus pondok pesantren dan mewakili beliau dalam dakwah serta pembinaan umat. Dari amanah ini, beliau melihat langsung kondisi masyarakat yang masih membutuhkan perhatian, baik di bidang pendidikan, ekonomi, maupun program-program yang menyentuh kehidupan rakyat kecil.

Pada tahun 2012, beliau juga dipercaya menjadi pengurus yayasan pesantren. Beliau bertanggung jawab memastikan kenyamanan santri serta kelengkapan sarana prasarana pondok. Tahun itu juga menjadi momentum politik, karena berlangsung pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten.

Sebagai tokoh pesantren, TGH. Hardiyatullah dengan lapang dada menerima silaturahmi dari calon kepala daerah yang datang, tanpa membedakan partai maupun latar belakang. Namun niat tulus itu justru dipandang berbeda oleh penguasa saat itu. Upaya menggagalkan silaturahmi dilakukan, sehingga muncul kesadaran baru bahwa selama ini pesantren sering hanya dijadikan alat politik, bukan mitra sejati dalam pembangunan. Dari pengalaman pahit itu, semangat beliau untuk terjun ke dunia politik semakin kokoh.

Menapaki Jalan Politik (2014)

Tahun 2014 menjadi titik balik. Pada pemilu legislatif, TGH. Hardiyatullah maju sebagai calon anggota DPRD Lombok Barat melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Dengan modal pengalaman dakwah, kiprah di pesantren, serta kedekatan dengan masyarakat, beliau dipercaya oleh rakyat untuk menjadi wakil mereka di parlemen daerah.

Kemenangan itu menjadi bukti bahwa politik bisa menjadi sarana ibadah. Bagi beliau, menjadi anggota dewan bukan sekadar meraih jabatan, melainkan wujud tanggung jawab untuk memperjuangkan aspirasi umat dan memastikan kebijakan berpihak pada rakyat kecil.

Dari Pesantren untuk Masyarakat

Sejak itu, jalan dakwah dan politik beliau berjalan beriringan. Pesantren tetap menjadi pusat pembinaan, sementara parlemen menjadi ruang perjuangan kebijakan. Kombinasi keduanya menjadikan TGH. Hardiyatullah sosok yang konsisten menjembatani kepentingan umat dengan pemerintah.

Perjalanan panjang ini menunjukkan bahwa politik tidak harus kering dari nilai spiritual. Sebaliknya, ketika dijalani dengan niat yang tulus, politik dapat menjadi alat untuk membumikan dakwah dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat.