Lombok — Tradisi Lebaran Topat kembali digelar dengan khidmat di berbagai pelosok Pulau Lombok, salah satunya di Musholla Pondok Pesantren Darussalam Bermi, Senin pagi (8 Syawal 1446 H/6 April 2025). Sejak pukul 07.00 WITA, puluhan dulang berisi makanan khas seperti ketupat, tikel, bantal, urap-urap, opor ayam, dan telur disusun rapi oleh para Pemuda dan masyarakat. Hidangan ini menjadi menu wajib dalam perayaan yang telah berlangsung sejak ratusan tahun silam. Dan semua warga masyarakat baik tokoh, remaja remaji, tua muda, ibu- ibu dan anak anak semua menyatu dalam kebersamaan, mengharap doa dan keberkahan kepada allah swt.
Tradisi ini dilaksanakan setelah umat Islam menunaikan ibadah puasa Ramadhan selama sebulan penuh, lalu dilanjutkan dengan puasa sunnah Syawal. Lebaran Topat bukan hanya sekadar pesta rakyat, tetapi juga menjadi ruang kontemplasi dan otokritik bagi setiap individu untuk mengenal kembali jati dirinya. Ia menjadi momen reflektif atas perjalanan hidup yang penuh dengan dosa-dosa individu maupun sosial.
Secara historis, makna Lebaran Topat merujuk pada masa Kesultanan Demak di awal abad ke-15, saat ketupat menjadi simbol perayaan hari raya Islam di tanah Jawa. Dalam konteks Lombok, makna tersebut tetap hidup dan berkembang.
Ketupat, dalam tradisi ini, dimaknai sebagai simbol nafsu dunia yang dibungkus oleh hati nurani. Anyaman daun kelapa yang membungkusnya melambangkan kompleksitas kehidupan sosial masyarakat yang harus dijaga dengan ikatan silaturahmi. Bentuk jajar genjang dari ketupat disebut sebagai representasi arah kiblat atau mata angin, sementara beras di dalamnya menggambarkan nafsu birahi manusia. Maka, Lebaran Topat menjadi simbol keberhasilan umat Islam dalam mengendalikan nafsu duniawi.
Selain itu, Lebaran Topat juga menyuarakan nilai-nilai kebersamaan, solidaritas, dan spiritualitas. Masyarakat berkumpul, berdoa, dan berbagi makanan sebagai wujud rasa syukur dan upaya mempererat hubungan sosial antarwarga. Di tengah kesibukan kehidupan modern, momen ini menjadi ruang yang sangat tepat untuk memperkuat ikatan kekeluargaan dan memperdalam rasa keimanan.
Lebaran Topat di Lombok bukan hanya budaya warisan leluhur, tetapi juga jendela kearifan lokal yang menyinari jalan spiritual masyarakatnya dari tahun ke tahun.